SEKILAS INFO
: - Kamis, 14-11-2024
  • 3 detik yang lalu / Untuk menambahkan running text silahkan ke Dashboard > Sekilas Info
Infodemik dan Hancurnya Kebijakan Kesehatan

Beberapa negara telah menetapkan kebijakan lebih longgar menghadapi Covid-19, memungkinkan masyarakat kembali hidup normal. Singapura misalnya, dengan hampir 40% populasi telah mendapat suntikan vaksin, pemerintah setempat telah membuat rencana untuk beralih ke fase baru kebijakan penanganan Covid-19 yang tidak lagi fokus pada upaya melacak setiap kasus dan mengakhiri semua penularan. Sebaliknya, kebijakan dilakukan dengan memperlakukan Covid-19 menjadi penyakit yang kurang mengancam, seperti flu.

Di Amerika Serikat, di mana 46% populasinya sudah mendapatkan suntikan vaksin penuh, kematian akibat Covid-19 harian turun hingga di bawah angka 300 per hari, menjadi titik terendah sejak Maret 2020. Sementara Inggris telah menekan angka kematian mencapai titik yang relatif rendah, meski terdapat peningkatan infeksi yang dipicu varian virus Delta.

Dengan total pemberian vaksin baru menyentuh angka 40 juta orang, program vaksinasi di Indonesia baru mencapai 16,62% untuk dosis pertama dan vaksinasi dosis kedua mencapai 7,5% pada akhir Juni 2021. Selama seminggu terakhir dilaporkan, Indonesia rata-rata telah memberikan sekitar 823.588 dosis setiap hari. Pada tingkat seperti itu, dibutuhkan setidaknya 66 hari lagi untuk memberikan dosis yang cukup untuk 10% populasi lainnya.

Upaya membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) di Indonesia masih perlu didorong lewat upaya vaksinasi massal yang terus dilakukan setiap daerah. Lambatnya proses pemberian vaksin menyulitkan pemerintah membentuk kekebalan kelompok untuk menghentikan penyebaran virus. Ini utamanya disebabkan keengganan masyarakat menerima suntikan vaksin setelah dibanjiri informasi palsu dan berita bohong, yang disebut dengan istilah Infodemik, terkait covid-19 dan kampanye vaksin.

Infodemik telah menyebar jauh sebelum COVID-19. Sayangnya, dengan penyebaran COVID-19, infodemik telah menyebar secara viral ke seluruh dunia melalui platform digital. Internet pada dasarnya dapat memperkuat dan menyampaikan infodemik semacam itu dengan cepat ke seluruh dunia, menyebabkan kepanikan massal dan semakin memperburuk stigmatisasi terhadap orang-orang yang berada di pusat wabah.

Seberapa bahaya disinformasi dan berita bohong yang mengikuti langkah dan kebijakan penanganan wabah? Perlukah otoritas setempat memberlakukan kebijakan menghentikan setiap upaya yang melucuti kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengatasi pandemi dan melancarkan kampanye vaksin?

Infodemik, Seberapa Bahaya?

Dari 20 hoax terkait Covid-19 yang dikonfirmasi, setidaknya 14 berita diklasifikasikan menyesatkan, dan enam memiliki konteks palsu. Bahkan pada Mei 2020, tercatat 32 konten menyesatkan, 30 konten palsu, 15 konten rekayasa terkait covid-19. Facebook menjadi platform favorit yang digunakan untuk menyebarkan hoaks Covid-19 pada Mei dan Juni dengan jumlah 68 informasi, diikuti oleh WhatsApp 25 informasi, Twitter 5, dan YouTube 1 informasi.

Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, setidaknya 70 item berita palsu telah dideteksi sejak Oktober 2020 hingga Januari 2021 tentang vaksin COVID-19. Sebuah kelompok masyarakat sipil Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO), yang bekerja untuk memerangi berita palsu bahkan menghitung setidaknya 80 berita bohong tentang vaksin dari Maret 2020 hingga Januari 2021. Jumlah berita palsu yang beredar mengalami peningkatan pada saat pemerintah meluncurkan program vaksinasi.

Infodemik menyebabkan terlalu banyak informasi palsu atau menyesatkan di lingkungan digital dan fisik selama pandemikk, menyebabkan kebingungan dan perilaku pengambilan risiko yang dapat membahayakan kesehatan. Pelanggaran terhadap protokol kesehatan seperti tidak menggunakan masker, membuat kerumunan serta menolak pemberian vaksin adalah efek tak terduga yang berbahaya bagi masyarakat dan menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan yang efektif.

Hal ini juga menyebabkan ketidakpercayaan warga pada otoritas kesehatan dan merusak respons kesehatan masyarakat. Terdorong oleh informasi salah soal covid-19 dan vaksin, masyarakat menjadi tidak yakin tentang kebijakan pemerintah serta apa yang perlu mereka lakukan untuk melindungi kesehatan warga.

Infodemik juga tampaknya memiliki konsekuensi kesehatan yang nyata: satu penelitian, yang diterbitkan pada Agustus 2020, memperkirakan bahwa keracunan alkohol membunuh hampir 800 orang dari seluruh dunia yang tampaknya percaya dengan rumor yang tersebar secara daring bahwa minum alkohol dengan konsentrasi tinggi akan mencegah COVID-19.

Kata “infodemik” bukanlah istilah pertama untuk menggambarkan dunia online kita yang dipinjam dari istilah medis. Selama pandemi, para peneliti telah berbicara tentang bagaimana perusahaan media sosial harus “meratakan kurva” informasi yang salah.

Twitter telah berbicara selama beberapa tahun tentang keinginan perusahaan mereka untuk mempromosikan apa yang disebut sebagai “percakapan yang sehat” di dunia maya. Tapi apa yang mereka maksud dengan “percakapan yang sehat”? Sementara itu, YouTube telah menghapus lebih dari 900.000 video yang terkait dengan informasi berbahaya atau menyesatkan tentang Covid sejak Februari 2020.

Secara global, merujuk pada data riset yang dipublikasikan pada The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene (Volume 103: Issue 4), mereka telah mengidentifikasi 2.311 laporan terkait infodemik COVID-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara (tabel 1). Dari jumlah tersebut, 2.049 (89%) laporan diklasifikasikan sebagai rumor, 182 (7,8%) adalah teori konspirasi, dan 82 (3,5%) adalah stigma. Studi ini mengidentifikasi tiga gelombang infodemik antara 21 Januari 2020 dan 5 April 2020.

Gelombang pertama antara 21 Januari dan 13 Februari, gelombang kedua antara 14 Februari dan 7 Maret, dan gelombang ketiga antara 8 Maret dan 31 Maret 2020. Pada dua gelombang pertama, jumlah Infodemik yang dilaporkan rendah dan polanya serupa jika dibandingkan dengan gelombang ketiga.

Merujuk pada hasil studi yang sama, Di antara semua kategori informasi yang berhasil dilacak, 24% terkait dengan penyakit, penularan, dan kematian; 21% untuk mengontrol infeksi; 19% untuk pengobatan dan penyembuhan; 15% untuk penyebab penyakit termasuk asalnya; 1% untuk kekerasan; dan 20% untuk lain-lain. Dari 2.276 laporan, 1.856 adalah klaim yang salah (82%), 204 benar (9%), 176 menyesatkan (8%), dan 31 tidak terbukti (1%). Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi diidentifikasi dari India, Amerika Serikat, Cina, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.

Di antara semua kategori infodemik, rumor adalah yang paling umum. Volume rumor meningkat dari Februari dan berlanjut hingga akhir masa studi, memuncak pada pertengahan Maret 2020. Sebagian besar rumor terkait dengan penyakit, penularan, dan kematian COVID-19, diikuti oleh intervensi yang berfokus pada tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi. Ada laporan tentang makan bawang putih, menjaga kelembapan tenggorokan, perlu menghindari makanan pedas, dan pentingnya mengonsumsi vitamin C dan D untuk membantu mencegah penyakit. Selain itu, ada laporan desas-desus bahwa penyemprotan klorin dapat mencegah infeksi virus corona.

Di Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang paling parah terkena dampak di Asia, survei nasional yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC) menemukan bahwa antara 64 dan 79 persen responden tidak dapat mengenali informasi yang salah secara online. Sebagian besar mengatakan mereka terutama mencari informasi melalui media sosial.

Konsekuensi dari misinformasi viral tidak terbatas pada ranah digital. Ketika pengguna menemukan hoax online yang mereka yakini benar, mereka sering membagikannya kepada orang lain secara langsung, menyebarkan ketakutan dan kecemasan di luar media sosial. Contoh yang paling bisa dikenali adalah hoax pertama tentang Covid-19 yang dianggap penyakit flu biasa. Hoax pertama ini sayangnya bukan berasal dari Indonesia dan dipercaya banyak orang di seluruh dunia.

Faktanya, Covid-19 tidak sama dengan flu biasa yang disebabkan oleh virus influenza. Menurut Stanford Children’s Health, Covid-19 disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan bernama SARS-CoV-2. Meskipun gejala awal Covid-19 mungkin menyerupai pilek disertai demam dan batuk, penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut dan menyebabkan kesulitan bernapas atau radang paru-paru, bahkan menyebabkan kematian.

Sebuah video hoax lain mengklaim bahwa thermo gun pada awalnya digunakan untuk memeriksa suhu pada kabel dan tidak digunakan untuk manusia, sehingga radiasinya dapat berbahaya bagi otak manusia. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengklarifikasi bahwa informasi tersebut tidak benar. Menurut dokter spesialis penyakit dalam dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, thermo gun aman digunakan dan telah lolos uji kesehatan.

TINGGALKAN KOMENTAR